Penilaian aset dalam ketentuan pajak: UU PPh pasal 10
Aset artinya sama dengan harta atau aktiva. Ketiga istilah tersebut digunakan secara bergantian dalam artikel ini.
Ketentuan ini mengatur tentang cara penilaian harta, termasuk persediaan. Penilaian aset berarti membubuhkan nilai rupiah pada suatu aset tertentu yang dilaporkan di neraca.
Dalam ketentuan PPh, penilaian aktiva dilakukan dalam rangka:
- menghitung penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta dalam perusahaan
- menghitung keuntungan atau kerugian ketika terjadi penjualan atau pengalihan harta
- penghitungan penghasilan dari penjualan barang dagangan
Harga perolehan atau harga penjualan
Ketentuan PPh secara umum menganut prinsip kewajaran transaksi. Harga perolehan atau harga penjualan, dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa, adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima. Jika terdapat hubungan istimewa, harga perolehan atau harga penjualan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima [UU PPh pasal 10 ayat (1)].
Harga perolehan mencakup harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan, dan biaya pemasangan.
Pada umumnya dalam jual beli aset, harga perolehan aset bagi pihak pembeli adalah harga yang sesungguhnya dibayar, dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah harga yang sesungguhnya diterima.
Dalam jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa, nilai perolehannya bagi pihak pembeli adalah jumlah yang seharusnya dibayar, dan nilai penjualannya bagi pihak penjual adalah jumlah yang seharusnya diterima.
Hubungan istimewa antara pembeli dan penjual bisa menyebabkan harga perolehan menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jika jual beli tersebut tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Oleh karena itu dalam ketentuan ini diatur bahwa nilai perolehan atau nilai penjualan harta bagi pihak-pihak yang bersangkutan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau yang seharusnya diterima.
Pertukaran aktiva
Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar [UU PPh pasal 10 ayat (2)].
Sebagai contoh, PT A dan PT B melakukan tukar-menukar aset. Aset X dari PT A ditukarkan dengan aset Y dari PT B. Aset X dalam pembukuan PT A tercatat memiliki nilai sisa Rp10.000.000. Aset Y dalam pembukuan PT B tercatat memiliki nilai sisa Rp12.000.000. Harga pasar aset X dan aset Y sama, yaitu Rp20.000.000. Dalam situasi ini, harga pasar Rp20.000.000 menjadi dasar penilaian oleh PT A dan PT B.
Keuntungan pertukaran aset adalah selisih harga pasar dengan nilai sisa aset yang diserahkan. Bagi PT A, keuntungan diperhitungkan berjumlah Rp10.000.000 (= Rp20.000.000 – Rp10.000.000). Bagi PT B, keuntungan diperhitungkan berjumlah Rp8.000.000 (= Rp20.000.000 – Rp12.000.000. Keuntungan tersebut merupakan objek pajak bagi masing-masing pihak.
Pertukaran aset itu dicatat sebagai berikut oleh PT A:
- Debit: Aset Y Rp20.000.000
- Kredit: Aset X Rp10.000.000
- Kredit: Keuntungan Rp10.000.000 (objek PPh)
Pertukaran aset itu dicatat sebagai berikut oleh PT B:
- Debit: Aset X Rp20.000.000
- Kredit: Aset Y Rp12.000.000
- Kredit: Keuntungan Rp8.000.000 (objek PPh)
Penilaian aset dan pengakuan keuntungan dari pertukaran menurut ketentuan PPh secara umum sama dengan standar akuntansi. Perbedaan penghitungan keuntungan bisa terjadi, misalnya karena perbedaan metode penyusutan, amortisasi, atau penilaian persediaan.
Pengalihan harta
Pada prinsipnya, penilaian harta yang dialihkan dilakukan berdasarkan harga pasar. Pengalihan harta tersebut dapat dilakukan dalam rangka pengembangan usaha berupa penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha. Selain itu pengalihan tersebut dapat dilakukan pula dalam rangka likuidasi usaha atau sebab lainnya.
Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak [UU PPh pasal 10 ayat (3)].
Sebagai contoh, PT A dan PT B melakukan peleburan dan membentuk badan baru, yaitu PT C. Aset PT A dan PT B dialihkan ke PT C.
Nilai buku semua aset PT A berjumlah Rp200 miliar, sedangkan harga pasarnya Rp300 miliar. Nilai buku semua aset PT B berjumlah Rp300 miliar, sedangkan harga pasarnya Rp450 miliar.
Dengan metode nilai wajar (harga pasar), PT A mendapat keuntungan sebesar Rp100 miliar (= Rp300 miliar – Rp200miliar), dan PT B mendapat keuntungan sebesar Rp150 miliar (= Rp450 miliar – Rp300 miliar). PT C membukukan semua harta tersebut dengan sejumlah Rp750 miliar (= Rp300 miliar + Rp450 miliar).
Jurnal di PT A:
- Debit: Investasi di PT C Rp300 miliar
- Kredit: Aset Rp200 miliar
- Kredit: Keuntungan Rp100 miliar (objek PPh)
Jurnal di PT B:
- Debit: Investasi di PT C Rp450 miliar
- Kredit: Aset Rp300 miliar
- Kredit: Keuntungan Rp150 miliar (objek PPh)
Jurnal di PT C:
- Debit: Aset Rp750 miliar
- Kredit: Ekuitas Rp750 miliar
Menurut pengaturan umum di atas, keuntungan PT A dan PT B dari pengalihan aset merupakan objek pajak penghasilan. Pengaturan umum ini juga sejalan dengan standar akuntansi.
Metode nilai wajar (harga pasar) dalam ketentuan PPh secara umum sejalan dengan standar akuntansi.
Meskipun demikian, dalam rangka menyelaraskan dengan kebijakan di bidang sosial, ekonomi, investasi, moneter, dan kebijakan lainnya, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan nilai lain selain harga pasar, yaitu atas dasar nilai sisa buku (“pooling of interest”).
Kembali ke contoh di atas, dengan metode pooling of interest PT C membukukan penerimaan harta dari PT A dan PT B sejumlah Rp500 miliar (= Rp200 miliar + Rp300 miliar).
Jurnal di PT A:
- Debit: Investasi di PT C Rp200 miliar
- Kredit: Aset Rp200 miliar
Jurnal di PT B:
- Debit: Investasi di PT C Rp300 miliar
- Kredit: Aset Rp300 miliar
Jurnal di PT C:
- Debit: Aset Rp500 miliar
- Kredit: Ekuitas Rp500 miliar
Hibah, bantuan, sumbangan
Apabila terjadi pengalihan harta:
- yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai sisa buku dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
- yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut [UU PPh pasal 10 ayat (4)]
Dalam penyerahan harta karena hibah, bantuan, atau sumbangan, yang bagi pihak penerimanya merupakan penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak atau penyerahan harta warisan, nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah nilai sisa buku harta dari pihak yang melakukan penyerahan.
Sebagai contoh, penyerahan aset hibahan senilai Rp100 juta memenuhi syarat sebagai penghasilan yang dikecualikan dari objek PPh. Penyerahan aset itu dicatat sebagai berikut oleh pihak yang menyerahkan:
- Debit: Beban Rp100 juta (tidak dapat dikurangkan)
- Kredit: Aset Rp100 juta
Beban Rp100 juta diakui dalam pembukuan pihak yang menyerahkan, tetapi harus dieliminasi (ditambahkan kembali) dalam rekonsiliasi fiskal.
Jurnal di pihak penerima:
- Debit: Aset Rp100 juta
- Kredit: Penghasilan Rp100 juta (bukan objek PPh)
Menurut WSD, pengakuan di pihak penerima di atas tidak sesuai dengan standar akuntansi yang mendasarkan pada biaya perolehan dalam pencatatan aset. Aset, meskipun diterima secara cuma-cuma, direkam dalam sistem akuntansi dengan nilai rupiah sejumlah yang benar-benar dikeluarkan.
Dengan mengacu pada jurnal di atas, penghasilan Rp100 juta diakui dalam laporan laba-rugi komersial dan dieliminasi (dikurangi seluruhnya) dalam koreksi fiskal.
Bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan, sehingga nilai sisa buku tidak diketahui, nilai perolehan harta ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Jika penyerahan harta hibah, bantuan, atau sumbangan, tidak memenuhi syarat sebagai penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak bagi pihak penerima, maka nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah harga pasar.
Sebagai contoh, penyerahan aset hibahan senilai Rp100 juta tidak memenuhi syarat sebagai penghasilan yang dikecualikan dari objek PPh. Harga pasarnya Rp150 juta. Penyerahan aset itu dicatat sebagai berikut oleh pihak yang menyerahkan:
- Debit: Beban Rp150 juta (dapat dikurangkan)
- Kredit: Aset Rp100 juta
- Kredit: Keuntungan Rp50 (objek PPh)
Jurnal di pihak penerima:
- Debit: Aset Rp150 juta
- Kredit: Penghasilan Rp150 juta (objek pajak)
Penyerahan harta non-kas sebagai setoran modal
Apabila terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c, maka dasar penilaian harta bagi badan yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta tersebut [UU PPh pasal 10 ayat (5)].
Penyertaan Wajib Pajak dalam permodalan suatu badan dapat dipenuhi dengan setoran tunai atau pengalihan harta. Ketentuan ini mengatur tentang penilaian aset yang diserahkan sebagai penukar saham atau penyertaan modal, yaitu dinilai berdasarkan nilai pasar dari aset yang dialihkan.
Sebagai contoh, Wajib Pajak X menyerahkan 20 unit mesin bubut yang nilai bukunya adalah Rp25.000.000 kepada PT Y sebagai pengganti penyertaan sahamnya. Nilai nominal PT Y adalah Rp20.000.000. Harga pasar mesin-mesin bubut tersebut adalah Rp40.000.000.
PT Y mencatat mesin bubut tersebut sebagai aktiva dengan nilai Rp40.000.000 dan sebesar nilai tersebut bukan merupakan penghasilan bagi PT Y.
Selisih antara nilai nominal saham dengan nilai pasar harta, yaitu sebesar Rp20.000.000 (= Rp40.000.000 – Rp20.000.000) dilaporkan di neraca sebagai agio.
- Debit: Aset Rp40.000.000
- Kredit: Saham Rp20.000.000 (bukan objek PPh)
- Kredit: Agio saham Rp20.000.000 (bukan objek PPh)
Bagi Wajib Pajak X selisih sebesar Rp15.000.000 (= Rp40.000.000 – Rp25.000.000) merupakan Objek Pajak.
- Debit: Investasi di PT Y Rp40.000.000
- Kredit: Aset Rp25.000.000
- Kredit: Keuntungan Rp15.000.000 (objek PPh)
Penilaian persediaan
Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama [UU PPh pasal 10 ayat (6)].
Pada umumnya terdapat 3 (tiga) golongan persediaan barang, yaitu barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan pembantu.
Ketentuan pada ayat ini mengatur bahwa penilaian persediaan barang hanya boleh menggunakan harga perolehan. Penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dilakukan dengan metode rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama ("first-in first-out atau disingkat FIFO"). Sesuai dengan kelaziman, cara penilaian tersebut juga diberlakukan terhadap sekuritas.
Ketentuan di atas sama dengan standar akuntansi mengenai persediaan. Meskipun demikian, standar akuntansi memungkinkan penilaian persediaan dengan nilai realisasi bersih jika nilai realisasi bersih sudah di bawah harga perolehan, dan kondisi itu diperkirakan terus berlanjut.
Contoh penilaian persediaan diberikan dalam artikel terpisah.
Komentar
Posting Komentar