PPh pasal 23: potongan pajak atas “sisa” penghasilan yang belum dipotong
UU PPh pasal 23 mengharuskan badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap dan perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, untuk memotong pajak atas dua kelompok penghasilan yang diindikasikan dalam pasal ini.
Kelompok penghasilan pertama yang dipotong PPh pasal 23 dengan tarif 15% meliputi (1) dividen, (2) bunga, (3) royalti, serta (4) hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya.
Kelompok penghasilan kedua yang dipotong PPh pasal 23 dengan tarif 2% meliputi (1) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta dan (2) imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain.
Lebih mudah untuk dihafal, PPh pasal 23 hanya menggunakan dua tarif: 15% dan 2%. Meskipun demikian, Anda harus memahami secara cermat batasan, pengecualian, kriteria, dan ketentuan yang berlaku untuk tiap-tiap penghasilan, umumnya diatur secara rinci dalam peraturan menteri keuangan dan peraturan DJP.
Sebagai gambaran, jenis jasa “lain” yang dipotong PPh pasal 23 sangat banyak. WSD bahkan kadang keceplosan mengajari mahasiswa: PPh pasal 23 itu terutama dipotong atas penghasilan perusahaan jasa, sedangkan PPh pasal 22 dipotong atas penghasilan perusahaan dagang dan manufaktur yang menjual barang berwujud.
Anda bisa mencermati daftar kode objek PPh unifikasi yang sudah dibuat WSD untuk referensi. Objek PPh pasal 23 dimulai dari kode objek pajak 24-100-01 sampai dengan 24-104-69.
Seperti PPh pasal 21, PPh pasal 23 merupakan pajak yang dipotong oleh pihak lain. Pemotongan dilakukan pada saat penghasilan yang menjadi objek PPh pasal 23 dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya.
Seperti umumnya ketentuan pemotongan dan pemungutan PPh, wajib pajak yang tidak memiliki NPWP, atau yang NIK-nya tidak diaktifkan sebagai NPWP, akan dikenai PPh lebih tinggi. PPh pasal 23 dikenakan dua kali lipat bagi wajib pajak tanpa NPWP. Mengapa? Tujuannya jelas: melalui mekanisme pemotongan dan pemungutan negara menjaring sebanyak mungkin wajib pajak ke dalam sistem perpajakan.
Dividen
Transaksi dividen yang dipotong PPh pasal 23 mungkin semakin sedikit saat ini, bahkan dalam praktik bisa jadi tidak ada lagi. Mengapa? Berikut WSD ulas alasannya.
Pertama, dividen yang dipotong PPh pasal 23 tidak mencakup dividen yang didapatkan orang pribadi. PPh pasal 23 hanya memotong dividen wajib pajak badan.
Kedua, UU PPh pasal 4 ayat (3) huruf f mengatur dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima oleh wajib pajak badan dalam negeri, yang selama ini menjadi objek pemotongan PPh pasal 23, tidak lagi menjadi objek PPh. Dengan kata lain, dividen dalam negeri yang didapatkan wajib pajak badan dalam negeri dikecualikan sebagai objek pajak.
PPh pasal 23 juga tidak dipotong atas bagian laba yang didapatkan anggota perseroan komanditer, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, dan pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif, serta sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan kepada anggotanya.
Kesimpulannya, hanya dividen yang lolos dari saringan kriteria di atas yang bisa dipotong PPh pasal 23.
Bunga
Bunga yang dipotong PPh pasal 23 adalah bunga yang termasuk penghasilan di luar usaha yang belum dikenai pajak dalam ketentuan PPh lainnya. Pemotongan PPh pasal 23 atas bunga paling mungkin adalah pada transaksi pinjaman antar wajib pajak yang bukan bank dan juga bukan jasa keuangan.
Sebagai contoh, PT A meminjam uang kepada PT B yang keduanya terafiliasi sebagai kelompok usaha. Contoh lainnya adalah utang-piutang antara pemegang saham kepada perseroan yang biasanya menjadi modus pembagian dividen terselubung.
PPh pasal 23 tidak memotong bunga, diskonto, serta jasa simpanan yang dipotong PPh final menurut ketentuan PPh pasal 4 ayat (2).
Nasabah bank tidak memotong pajak atas bunga pinjaman yang dibayarkan kepada bank. PPh pasal 23 juga mengecualikan penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan pembiayaan.
Royalti
WSD kadang keceplosan mengatakan bahwa PPh pasal 23 sebagian besar dipotong atas penghasilan wajib pajak badan. Well, royalti adalah satu contoh penghasilan yang bisa didapatkan oleh orang pribadi tapi dipotong PPh pasal 23. Meskipun demikian, badan dan bentuk usaha tetap tentu juga bisa menjadi penerima royalti yang dipotong PPh pasal 23.
Hadiah, penghargaan, bonus
Hadiah, penghargaan, dan bonus yang dipotong PPh pasal 23 adalah yang tidak dipotong PPh pasal 21. Ribet, ya penjelasannya. Intinya, PPh pasal 21 mengharuskan badan atau peserta kegiatan memotong pajak atas hadiah, penghargaan, dan bonus yang didapatkan orang pribadi. Dengan kata lain, PPh pasal 23 berlaku hanya atas hadiah, penghargaan, dan bonus yang didapatkan wajib pajak badan dan bentuk usaha tetap.
Hadiah undian juga tidak dipotong PPh pasal 23, tetapi dipotong PPh final berdasarkan ketentuan PPh pasal 4 ayat (2).
Sewa dan penghasilan lain terkait penggunaan harta
Sewa yang dipotong PPh pasal 23 adalah selain sewa properti (tanah dan bangunan) yang dipotong PPh final menurut ketentuan PPh pasal 4 ayat (2). Sebagai contoh, sewa kendaraan oleh badan pemotong PPh pasal 23 mengakibatkan jumlah yang diterima oleh pemilik kendaraan dipotong 2%. Contoh aset lain yang bisa disewakan dan dipotong PPh pasal 23 adalah sewa peralatan berupa mesin-mesin produksi dan alat-alat berat.
Jasa
Jasa yang dipotong PPh pasal 23 adalah yang tidak dipotong PPh pasal 21, yaitu yang disediakan oleh wajib pajak badan. Selain jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, dan jasa konsultan, banyak sekali jenis jasa yang disediakan wajib pajak badan yang bisa dipotong PPh pasal 23.
Contoh-contoh penerapan pemotongan PPh pasal 23, pembukuan, serta pelaporannya diberikan dalam artikel terpisah.
Komentar
Posting Komentar