Amortisasi fiskal harta tak berwujud
Amortisasi sebenarnya serupa dengan penyusutan (depresiasi). Amortisasi adalah alokasi biaya perolehan harta atau aset tak berwujud, sedangkan penyusutan berarti alokasi biaya perolehan harta berwujud.
UU PPh pasal 11A mengatur amortisasi dilakukan atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud, bukan atas fisik harta tak berwujud itu sendiri. Amortisasi juga dilakukan atas biaya perpanjangan hak atas tanah, berupa hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, serta atas muhibah (goodwill).
Amortisasi hanya dilakukan atas pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun. Harta dan hak yang diamortisasi adalah yang dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara (3M) penghasilan.
Metode amortisasi fiskal
Amortisasi dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar (metode garis lurus), atau dalam bagian-bagian yang menurun (metode saldo menurun) selama masa manfaat. Amortisasi dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas pengeluaran (untuk metode garis lurus), atau dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus (untuk metode saldo menurun).
Metode yang dipilih harus dilakukan secara konsisten (taat asas), yang berarti digunakan seterusnya.
Kapan amortisasi dimulai?
Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran sehingga amortisasi pada tahun pertama dihitung secara pro-rata. Untuk bidang usaha tertentu, saat dimulainya amortisasi bisa ditetapkan berbeda agar sesuai dengan karakteristik bidang usaha.
Masa manfaat dan tarif amortisasi fiskal
Masa manfaat dan tarif amortisasi diatur secara spesifik dalam ketentuan PPh, lebih ketat daripada ketentuan dalam standar akuntansi. Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi Wajib Pajak dalam melakukan amortisasi. Untuk menghitung amortisasi fiskal, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut.
Wajib Pajak bisa memilih metode amortisasi, garis lurus atau saldo menurun, berdasarkan masa manfaat serta tarif amortisasi, sesuai dengan kelompok masa manfaat yang diatur dalam ketentuan ini.
Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 tahun atau 8 tahun. Jika masa manfaat yang sebenarnya 5 tahun, harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 tahun.
Jika harta tak berwujud mempunyai masa manfaat melebihi 20 tahun, amortisasi dilakukan sesuai dengan masa manfaat untuk harta tak berwujud kelompok 4, atau sesuai dengan masa manfaat yang sebenarnya berdasarkan pembukuan Wajib Pajak.
Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal perusahaan bisa dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan ini.
Metode satuan produksi
Wajib pajak harus menggunakan metode satuan produksi untuk mengamortisasi pengeluaran dalam rangka perolehan hak penambangan minyak dan gas bumi.
Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase tarif amortisasi yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat diproduksi.
Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Pengeluaran terkait penambangan selain minyak dan gas bumi. Metode satuan produksi juga harus digunakan untuk mengamortisasi pengeluaran dalam rangka perolehan hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber daya alam serta hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut, yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Penerapan metode satuan produksi untuk mengamortisasi pengeluaran terkait hak-hak tersebut hanya boleh dilakukan setinggi-tingginya 20% per tahun.
Sebagai contoh, pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai potensi 10.000.000 ton kayu, berjumlah Rp500.000.000. Pengeluaran tersebut diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan.
Jika dalam 1 tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000 ton (30% dari potensi yang tersedia), besarnya amortisasi yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun tersebut hanya Rp20.000.000, 20% dari Rp100.000.000.
Pengeluaran sebelum operasi komersial
Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun harus dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi dengan mengacu pada kelompok-kelompok harta tak berwujud yang ditentukan dalam UU PPh.
Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial mencakup biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial. Contohnya adalah biaya studi kelayakan dan biaya produksi percobaan.
Pengeluaran sebelum operasi komersial tidak mencakup biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor lainnya. Pengeluaran operasional yang rutin tidak boleh dikapitalisasi, tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.
Pengalihan harta tak berwujud
Harta tak berwujud serta hak-hak lainnya, yang sedang digunakan dan amortisasinya belum selesai, bisa saja dialihkan kepada pihak lain. Contoh pengalihan yang paling umum adalah penjualan. Pada tahun terjadinya pengalihan, harga jual atau nilai pasar harta atau hak yang dialihkan merupakan penghasilan, dan nilai buku yang belum diamortisasi menjadi kerugian yang bisa dikurangkan.
Sebagai contoh, PT XERT mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp500.000.000. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah sebanyak 200.000.000 barel. Setelah produksi minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000 barel, PT XERT menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga jual sebesar Rp300.000.000. Penghitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak tersebut adalah sebagai berikut:
- Harga perolehan = Rp500.000.000
- Amortisasi yang telah dilakukan = 100.000.000/200.000.000 × Rp500.000.000 = Rp250.000.000
- Nilai buku harta = Rp500.000.000 – Rp250.000.000 = Rp250.000.000, menjadi unsur biaya yang dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan neto fiskal
- Harga jual = Rp300.000.000, merupakan penghasilan yang menjadi objek PPh, digabungkan dengan penghasilan-penghasilan lainnya dalam menghitung penghasilan neto fiskal
Dengan menggunakan sistem pencatatan berpasangan, transaksi di atas dibukukan dengan cara berikut:
- Debit: Kas Rp300.000.000
- Kredit: Harta Rp250.000.000
- Kredit: Keuntungan Rp250.000.000 (objek PPh)
Pengalihan berupa bantuan, sumbangan, dan hibah
UU PPh pasal 4 ayat (3) mengatur bantuan, sumbangan, dan harta hibahan, yang memenuhi syarat dan ketentuan, dikecualikan dari objek pajak. Transaksi pengalihan merupakan bantuan, sumbangan, dan hibah yang dikecualikan dari objek pajak, diperlakukan dengan metode nilai buku oleh pihak yang mengalihkan dan menerima pengalihan.
Dengan kata lain, nilai sisa buku dari pihak yang mengalihkan langsung dicatat oleh pihak yang menerima, tanpa memperhitungkan harga pasar. Bagi pihak yang mengalihkan nilai sisa harta atau hak bukan merupakan biaya yang dapat dikurangkan, dan bagi pihak yang menerima nilai sisa itu juga bukan merupakan penghasilan.
Dengan data yang sama dengan PT XERT di atas, kecuali harga jual, transaksi di atas dibukukan dengan cara berikut:
- Debit: Ekuitas Rp250.000.000
- Kredit: Harta Rp250.000.000
Jurnal di pihak penerima:
- Debit: Harta Rp250.000.000
- Kredit: Ekuitas Rp250.000.000
Ketentuan terkait penyusutan dan amortisasi fiskal diatur lebih lanjut dalam PMK-72/2023.
Komentar
Posting Komentar